Gunung Batu Jonggol: Alternatif Hiking Warga Jakarta

“Akhirnya, naik gunung lagi!”, ucap saya dalam hati pas sampai di puncak Gunung Batu, Jonggol. Ya walaupun ini bisa dibilang bukan gunung karena hanya 870-an meter di atas permukaan laut (mdpl). Tapi setidaknya, bisa merasakan track terjal dan udara segar. So happy!

Weekend yang tidak biasa buat saya dan delapan teman lain. Kami harus sudah terbangun sebelum jam 4 pagi untuk mendaki gunung. Entah kapan terakhir kali kami mendaki, ini membuat kami was-was, “Kuat gak, nih? Engap gak, ya?” Hahaha.

Kami sudah siap sekitar jam 04.30 pagi dengan senter dan jaket yang jadi pelindung udara dingin Bogor pagi itu. Keluar penginapan, suasana jalan masih sepi dan gelap. Kami jalan kaki 5 menit untuk sampai di gerbang pos penjualan tiket. Harga tiket per orang Rp30.000,00 di hari Minggu (weekend).

Jalur dari pos tiket masih tergolong landai dan tanah, buat pemanasan keluar keringat karena ada beberapa tanjakan. Tapi tenang, belum sampai engap.

Gunung Batu Jonggol
Jalur Batu Goyang Gunung Batu (Photo by: Fariz)

Di tengah perjalanan dari pos awal kita ketemu jalur “batu goyang”. Jadi, ini jalur banyak batu-batu besar (batu kali) dan kalau kita injak kaki, batunya bakal goyang karena ga tertanam di tanah. So, harus jaga keseimbangan dan hati-hati licin.

By the way, kondisi kita pas naik Gunung Batu ini jalurnya becek karena malam sebelumnya hujan cukup lama. Pas lewat batu ini juga mau ga mau kita harus hati-hati biar ga kepeleset pas injak batunya.

Setelah jalur batu, jalurnya tanah lagi. Jalur kecil cuma bisa untuk satu orang. Jadi, kita harus gantian minggir dulu kalau ada orang dari arah atas. Tapi karena masih pagi buta, ga ada orang lewat, cuma kita.

Gak lama, kita ketemu sama “pengkolan” dan ternyata jalur yang kita lewatin itu short cut alias motong jalan! Pantas aja agak sedikit menanjak. Di pengkolan ini kita ketemu jalur semen, lebarnya mungkin 2 meter. Istirahat sebentar buat minum.

Jalur ke Camping Ground Gunung Batu

Selesai istirahat minum, kita lanjutin perjalanan di jalur semen ini. Jalannya bisa barengan kanan kiri karena lebar. Lari juga bisa kalo kuat, gan! Ujung dari jalur semen ini ternyata camping ground. Camping ground Gunung Batu lumayan luas, bisa muat 10 tenda dan viewnya bagus banget! Btw, cuma ini lokasi untuk bikin tenda, setelah ini ga akan bisa karena jalurnya menanjak terus.

Camping Ground Gunung Batu

Nah, habis camping ground jalurnya kembali tanah dan ini baru pendakian dimulai. Nanjak terus! Setiap naik, kaki sama dengkul balapan. Kanan-kiri ilalang dan jalurnya sempit. Hati-hati juga kalo mau istirahat di pinggir, karena kanan-kirinya jurang. Pastikan istirahat di tempat yang sedikit luas.

Kita bersembilan ini belum ada yang pernah mendaki Gunung Batu sebelumnya, untungnya ada Om Hendra dari Gunung Batu Adventure yang nemenin. Makanya, kita kaget pas ketemu jalur tanah vertikal yang ngelewatinnya perlu pakai tali. Karena semalam habis hujan, talinya jadi licin. Kita harus nahan tali itu tetep kita pegang, pedees banget telapak tangan. Talinya jangan sampai lepas dan selalu posisikan di tengah antara dua kaki, bisa bahaya amit-amit jatuh kalo sembarangan megang talinya.

Oh iya, pas lewatin jalur tali ini cuma boleh sendiri jadi harus bergantian. Pas giliran saya, jujur agak deg-degan karena harus konsentrasi pegang tali yang licin dan nentuin pijakan kaki di sebelah mana yang aman. Sambil nunggu giliran yang lain, Saya, Dinda dan Syam beristirahat sebentar di pinggir jalur yang bisa buat berdiri tiga orang.

Gunung Batu Jonggol
Sunrise Gunung Batu

Semua personil udah berhasil ngelewatin jalur tali ini, kita lanjut jalan lagi karena sebentar lagi bakal ketemu sama puncak bayangan. View dari puncak bayangan ini keren bangeeet! Pas golden sunrise dan cerah pula, wah keren pokoknya! Kita foto-foto di sini karena Aphoy, Fariz dan Abeng ga ngelanjutin buat sampai ke puncak.

Gunung Batu Jonggol
Puncak Bayangan Gunung Batu

Lho, masih ada puncak lagi? Yes! Kan yang tadi namanya masih puncak bayangan. Jalur ke puncak beneran ini juga ga kalah curam, jalur vertikal batu di mana perlu tali lagi buat ngelewatinnya. Naiknya pun bergantian dan harus kasih kode ke teman di atas kalo mau naik. Kalo udah sampai di atas juga kasih kode, biar teman selanjutnya bisa mulai pakai tali. Talinya ga bisa dipakai berbarengan, bahaya. Ini jalurnya kanan-kiri benar-benar jurang. Telapak tangan saya makin pedess, megang tali harus kuat. Konsentrasi juga ga boleh buyar, harus bisa nentuin kaki nginjak batu yang mana.

Gunung Batu Jonggol
Jalur Menuju Puncak Gunung Batu

Selama jalur pendakian Gunung Batu, ada tiga jalur tali. Petugas di pos tiket juga kasih informasi kalo naiknya harus bergantian. Setelah ngelewatin tiga jalur tali, akhirnya kita sampai di puncak Gunung Batu! Bedanya sama puncak bayangan, di sini ada penanda bendera merah putih.

Puncak Gunung Batu tidak terlalu luas, kami bertujuh masih bisa berdiri di atas pagi itu. Tapi kalo terlalu banyak ga bisa, karena bahaya kalo jatuh langsung ke jurang. Kami berangkat tadi pagi jam 4.30 dan sampai di puncak sekitar jam 6 lewat. Perjalanan santai ga pake ngebut, butuh waktu sekitar 1,5 jam.

Kami puas-puasin foto di puncak karena kebetulan pendakian pagi buta ini sepi cuma ada kami. Pagi yang cerah, dari puncak Gunung Batu kelihatan Gunung Pancar, Gunung Gede dan Gunung Pangrango. Masha Allah bagusnya! Benar-benar refreshing buat kami bisa hirup udara segar dan lihat hamparan hijau.

Gunung Batu  Jonggol
Gunung Gede dan Pangrango dari Puncak Gunung Batu

Setelah puas dan matahari semakin panas, kami memutuskan untuk turun. Ternyata, jalur turun juga sama curamnya. Kami harus melewati jalur tali dan perlu konsentrasi saat menginjakkan kaki. Padahal perut udah keroncongan membayangkan ayam goreng dan nasi hangat di penginapan.

Cuaca malam habis hujan bikin jalur tanah dan batu semakin licin, jadi kami jatuh terpeleset berkali-kali di jalur. Celana dan baju yang awalnya bersih pas berangkat, sudah cemong sama noda tanah di bokong pas turun.

Perjalanan turun juga memakan waktu sekitar 1,5 jam. Sebelum kembali ke penginapan, kami istirahat sebentar di warung dekat pos tiket. Melepas dahaga pake es teh sambil menertawakan hal-hal bodoh selama pendakian tadi.

Gunung Batu Jonggol
Warung di Pintu Masuk Gunung Batu

Sampai di penginapan, kami langsung ambil posisi selonjoran di teras sambil meramal kaki dan badan akan sakit besok hari. By the way, kita ga ngecamp, tapi bermalam di Villa Gunung Batu Adventure. Cari yang praktis karena malas harus bawa tenda berat, belum lagi harus packing dan pasang tenda.

Gunung Batu Adventure

Villa ini jaraknya deket banget sama Gunung Batu, ga ada 5 menit jalan kaki. Fasilitasnya oke! Di lantai 2 khusus tempat tidur ala Jepang, jadi tidurnya lesehan di kasur lipat. Lantai 1 ada kamar mandi lengkap dengan shower dan wc duduk, dapur (ada kompor, alat masak dan dispenser), tempat kumpul. Bagian depan terasnya luas, ini jadi tempat kita semalaman barbeque-an dan sarapan habis mendaki. View dari teras aja cakep amat! Adeem~

Gunung Batu benar-benar jadi alternatif buat warga Jakarta yang kangen atau ingin merasakan sensasi naik gunung. Hanya 870-an mdpl, tetapi jalurnya bisa buat latihan cardio hahaha. Buat sampai ke puncaknya juga ga butuh waktu lama kaya ke Gunung Gede atau Pangrango. Di perjalanan turun saya juga bertemu sama keluarga yang bawa anak usia 4-5 tahun, mungkin mereka hanya sampai di camping ground. But, it’s okay buat cari udara segar.

Kalo ke Gunung Batu, dari arah Cibubur (Jakarta) kalian bisa keluar tol Citereup atau langsung googling Gunung Batu Adventure. Petunjuk arahnya jelas, kok. Buat yang pertama kali, sangat disarankan berangkat pagi atau siang biar ga bingung dan ga bahaya karena jalurnya sepi kalo udah malam. Jalanan ke sana udah bagus, beraspal dan muat dua mobil. Kalo kalian pernah ke Dieng, kira-kira jalanannya seperti itu, menanjak dan belok-belok tapi kanan kirinya hijau-hijau segar.

Walaupun gunungnya ga tinggi, wajib banget pake sepatu atau sendal gunung yang proper karena bakal ketemu jalur ekstrem bertali dan licin kalo hujan. Daripada harus kepeleset terus, lebih baik persiapkan diri, kan? Jangan lupa juga bawa senter atau headlamp kalo ada rencana catching sunrise.

Sekian dulu cerita tentang Gunung Batu bersama teman-teman SMA saya, semoga bisa kasih informasi lengkap kalo kalian mau mendaki ke sana. Jangan lupa share ke teman-teman, ya! See you!

Aerial video Gunung Batu bisa cek di sini.

Advertisement

Kedai Rukun: Masakan Rumahan yang Punya Cerita

“Kami pilih nama Rukun karena ada di tengah perkampungan warga yang banyak anak-anak dan warga yang berlalu lalang. Di sini juga masih hangat tradisi lokalnya, rapat dan lomba sesama warga. Yo ra pantes wae kalo kami pilih nama kebarat-baratan hahaha”, ujar anak lelaki Ibu, menjawab pertanyaan saya kenapa kedai ini diberi nama Rukun.

Kedai Rukun
Kedai Rukun

Begitu kira-kira suasana yang menggambarkan Kedai Rukun, letaknya di tengah perkampungan warga. Walaupun lokasinya tidak di pinggir jalan raya, tapi Kedai Rukun bisa ditemukan di google maps. Sepertinya memang lebih baik naik motor atau sepeda supaya bisa parkir persis di depan pintu Kedai.

Tampak depan Kedai Rukun
Tampak depan Kedai Rukun
Suasana di Kedai Rukun
Suasana di Kedai Rukun

Dari tahun 2018, Kedai Rukun menyuguhkan kopi dan makanan lokal buat para pengunjung. Minuman kopi buatan mereka diracik oleh anak lelaki Ibu yang memang seorang barista berpengalaman. Biar tak hanya menyuguhkan minuman, mereka menyajikan masakan lokal dari dapur Ibu.

Menu masakan di Kedai Rukun selama pandemik
Menu masakan di Kedai Rukun selama pandemik
Menu minuman di Kedai Rukun selama pandemik

Mungkin masakan-masakan yang tertulis di kertas daftar menu dan etalase kaca warung terlihat biasa saja, bisa kita temukan di warung lain. Tapi, menu masakan Ibu punya memory. Setiap hari Ibu menghidangkan beberapa menu utama seperti brongkos, bakmoy ayam, sayur lodeh dan telur, ayam bakar, ayam goreng dan ayam gepuk.

Brongkos enak di Kedai Rukun
Brongkos enak di Kedai Rukun

Seperti dalam semangkuk brongkos yang menjadi menu favorit alm. bapak dan anak-anak sedari kecil. Ibu selalu memasaknya di hari Minggu, di mana semua keluarga berkumpul di rumah. Karena anak-anak Ibu kurang begitu suka kacang merah dan melinjo, Ibu sedikit memodifikasi. Semangkuk brongkos hangat buatan Ibu berisi telur bebek, tahu magel, tahu plempung dan tetelan daging sapi dengan kuah santan coklat kental. Rasanya? Enak! Warna kuah yang coklat dan kental ini bukan manis, tapi gurih. 

Bakmoy ayam primadona Kedai Rukun
Bakmoy ayam primadona Kedai Rukun

Semangkok bakmoy ayam yang jadi primadona di kedai adalah salah satu doa mereka beberapa tahun lalu yang Tuhan kabulkan. Kalau punya warung, alm. Bapak ingin bakmoy buatan Ibu yang enak ini jadi menu utama. Walaupun saat itu Ibu masih belum percaya diri kalau masakannya dibeli banyak orang. Ternyata bakmoy buatan Ibu jadi obat rindu buat banyak orang. Ada keluarga kecil yang selalu berkunjung ke kedai setiap akhir pekan dan selalu memesan bakmoy karena rasanya persis buatan Neneknya. Jangan khawatir, bakmoy di kedai halal karena Ibu menyajikannya dengan potongan daging ayam yang jumlahnya tidak pelit, telur ayam bulat masak kecap yang sudah dibelah dua biar tidak menggelinding pas kita potong, kuah kaldu yang gurih, dan nasi putih yang ikut bercampur dalam kuah biar kita kenyang. Must try!

Sayur lodeh ndeso dan telor kriwil Kedai Rukun
Sayur lodeh ndeso dan telor kriwil Kedai Rukun

Sayur lodeh buatan Ibu enak banget! Kuahnya gurih dan sedikit pedas karena ada potongan cabai merah dan ijo besar. Kalau di menu ditulisnya nasi sayur ndeso dan telur keriwil. Jadi nanti yang akan datang ke meja, semangkuk lodeh isi potongan labu dan tahu, nasi bertabur bawang goreng dan telur dadar kriuk. Dijamin kenyang!

Menu dadakan yang ditulis di papan tulis Kedai Rukun
Menu dadakan yang ditulis di papan tulis Kedai Rukun

Selain menu-menu utama yang wajib hadir tiap hari itu, Ibu juga suka masak menu dadakan yang hadir hanya hari tertentu. Menu dadakan selalu ditulis di papan tulis mini di pintu masuk. Akan ada sapaan hangat bagi mereka yang sudah sering datang,  “Masak apa Bu hari ini?”. Seperti kita kalau lapar dan nanya ke Ibu di rumah. Ibu suka mendadak masak rawon, tuna kemangi, kupat gulai iga, sego manten, soto ayam, gado-gado, ayam bumbu rendang, pindang kemangi dan masih banyak lagi.

Dengan konsep bisa menghadirkan makanan lokal dan kopi dalam satu meja, Kedai Rukun juga punya menu kopi. Ada pilihan kopi warga tubruk, kopi akamsi saring, es kopi tropis dan es kopi susu ndoro. Minuman di lain kopi ada teh cakruk, jeruk nipis, teh jeruk, tape biasa dan tape susu yang bisa kita pilih dingin atau hangat. Sambil menunggu makanan datang ke meja, bisa jajan snack yang ada di meja dan rak di pintu masuk.

Aneka keripik dan jajanan ringan di Kedai Rukun
Aneka keripik dan jajanan ringan di Kedai Rukun
Etalase dan ruang kerja Ibu di Kedai Rukun
Etalase dan ruang kerja Ibu di Kedai Rukun

Ibu bilang, semenjak pandemi ini belum bisa masak banyak menu. Ibu pilih yang cepat dan ringkas saja. Jam buka kedai juga dipangkas, buka dari jam 17.00 sampai 21.00. Masih bisa bersenja di kedai sambil menyantap masakan Ibu. Tapi jangan lama-lama, biar yang lain kebagian tempat dan bisa menikmati masakan Ibu juga. Jangan lupa cuci tangan di pintu masuk dan tetap physical distancing, ya!

“Semoga merukunkan semua yang tidak rukun” -Kedai Rukun

Ke Psikolog: Hari-Hari Saya Jadi Lebih Baik!

Ketika menulis ini, rasanya ingin berdoa “Saya tidak mau ada di masa-masa itu. Buruk banget”. Iya, masa di mana saya menjalani hari-hari ‘kosong’, saya bertemu dan nongkrong sama teman-teman haha-hihi tapi setelah pulang langsung merasa hampa lagi. Masa di mana tidur subuh karena overthink, bangun siang dan makan tidak teratur. Masa di mana produktivitas saya amat sangat buruk. Masa di mana punya pikiran “Enaknya nabrakin diri apa ngiket tali buat ngegantung, ya?” Hahaha. Tapi itu cuma di pikiran, saya sama sekali belum pernah melakukan percobaan bunuh diri.

Saya sadar kondisi ini sangat tidak nyaman dan saya tidak mau terus-terusan seperti ini. Saya merasa sedikit membaik setelah menulis jurnal, membuat gratitude list sebelum tidur, perbanyak ibadah, sholat malam, baca Al-qur’an. Sedikit. Setelah itu, hari-hari saya terganggu lagi.

Kapan saya perlu ke psikolog?

Singkat cerita, saya beranikan diri bercerita ke teman saya yang seorang psikolog klinis. Saya dikasih semacam assessment yang harus diisi biar tau saya sebenernya kenapa. Kami berkomunikasi melalui email, karena harus saling kirim file assessment tadi.

Suatu sore, teman saya ini menawarkan saya untuk konsultasi tatap muka dengan psikolog yang kebetulan juga senior dia kuliah dulu. Dia kasih nomor seniornya yang ternyata pernah membeli journal jualan saya.

Ketemu Psikolog, Ngapain Aja?

Saya dapat psikolog yang click. Nada bicaranya lembut. Dua kali konseling, di awal sesi dia selalu bertanya “Hai, Tika. Apa kabar hari ini? Ada cerita apa hari ini?”, sambil tersenyum lebar memiringkan kepala dengan tangan melipat di atas meja. Nada bertanyanya persis guru TK yang sedang bertanya ke anak kecil haha. Bisa bayangkan, kan? Tapi itu tidak jadi masalah buat saya.

Tanpa basa-basi saya bercerita banyak ke dia. Dari yang awalnya bercerita lancar sampai terbata-bata sesekali dia menawarkan tissue di mejanya untuk saya ambil. Dia benar-benar memperhatikan cerita saya, eye-contact seolah dia juga merasakan apa yang saya alami. Sesekali dia mencatat singkat dalam buku catatannya, yang ternyata produksi saya.

“Kok kamu gak malu cerita masalahmu sama orang lain?”, beberapa teman bertanya seperti itu. Saya sama sekali tidak malu, karena benar-benar saya mau ‘sembuh’ dan keluar dari ‘ketidaknyamanan’ ini. Asli deh, tiap hari merasa kosong, nangis dan dada berdebar tanpa alasan yang jelas itu tidak enak!

Setelah bercerita, dia akan memberikan pandangannya. Pandangan yang tujuannya mendorong saya untuk menyelesaikan masalah saya sendiri. Pandangan yang meyakinkan saya kalau saya mampu dan saya tidak perlu takut akan hari esok. Dia meluruskan apa yang kiranya salah dalam pikiran dan tindakan saya.

Di akhir sesi, saya diajak bermeditasi. Diajak untuk mindful dan sadar pada diri saya saat itu. Menutup mata, merelaksasikan nafas dan pikiran, sambil mengikuti arahan dia. Salah satu yang saya ingat, saya disuruh membayangkan keinginan yang saya takutkan tidak terjadi tetapi benar-benar terjadi. Tangis saya pecah. Meditasi sekitar 10 menit selesai, setelah itu kami ngobrol ringan. Biasanya saya bercerita hari itu agenda saya apa dan besok mau ngapain, sambil menunggu dia melengkapi catatan dan membuat nota yang setelah itu saya kasih ke kasir untuk pembayaran.

Obrolan kami tidak hanya di dalam ruang konsul. Setiap pagi dan sore, dia menanyakan kabar dan apa yang sudah saya lakukan hari itu. Pesan semangat dan hangat selalu saya dapatkan tiap hari.

“Semoga hari esok akan baik-baik saja.”

“Every little steps is a progress.”

“Dicoba aja dulu, kita gak tau akan gimana sebelum dicoba”

“Kamu boleh sedih, boleh kecewa, boleh takut, dan kamu akan tetap bergerak”

Saya sudah tidak lagi berkunjung ke ruang konsultasinya. Sekarang, pelan-pelan, hari-hari saya sudah jauuuuh lebih baik! Sekarang, saya bisa menerima emosi dan perasaan yang sedang saya rasakan, meluapkannya dalam bentuk yang lebih positif. Saya bisa menemukan cara healing saya sendiri. Sesekali, kalau sedang butuh, saya menghubunginya dalam pesan WhatsApp atau Instagram.

Berapa Biayanya?

Psikolog saya praktek di salah satu RSUD di Yogyakarta, biaya yang saya keluarkan tidak pernah lebih dari 100.000 untuk sekali sesi, sekitar dua jam. Circa 2018-2019.

Kita bisa menemui psikolog di puskesmas, rumah sakit dan biro psikologi. Biaya tidak bisa disamakan. Kabar baiknya, bisa pakai BPJS untuk tingkat faskes puskesmas atau langsung ke RS yang menerima BPJS. Kita bisa cari kontak puskesmas/RS/biro psikologi di Google atau media sosial, kemudian kita hubungi untuk menanyakan harga konsultasi psikolog. 

Empati, Deep Listening dan Awareness.

Saya ingat beberapa tahun lalu saat teman saya berencana ke psikolog, saya langsung nyeletuk “Ngapain kamu ke psikolog? Kamu gila, ya?”. Rasanya saya mau menampar mulut saya waktu itu. Jahat sekali. Sejak saya ke psikolog, saya dan teman saya itu jadi bercerita banyak tentang pengalaman kami ke psikolog, terapi apa yang dia dapatkan dan insight lain yang membuat saya semakin open-minded.

Di hari lain, ketika teman dekat saya di SMA berkunjung ke Jogja. Malam itu sudah hampir jam 12, saya yang sedang was-was karena gerbang kosan pasti sudah di kunci, malah membuka cerita “Beberapa bulan lalu gue ke psikolog, gue blablabla…”. Yang membuat saya kaget, respon teman saya “Gue juga ke psikolog!”. Raut muka kami malah saling excited buat cerita. Kami jadi bercerita singkat tentang masalah kami, sudah menyakiti diri separah apa, sudah sebaik apa sekarang, sampai membandingkan harga psikolog di Jakarta dan Jogja.

Malam yang lain, teman yang lain juga. Di kedai kopi kecil, dekat Prawirotaman, teman saya dari Jakarta tiba-tiba bertanya “Kak, lu pernah ke psikolog ya?”, saya mengangguk. Dia melanjutkan ceritanya “Gue juga, Kak. Di RS blabla, tapi psikolognya gak enak. Gue dibilang suruh banyak ibadah, kurang bersyukur. Mana mahal, hampir sejuta. Gue gak mau ke situ lagi”. Setelah itu kami bertiga, jadi bercerita banyak hal.

Besoknya, adiknya teman saya ini pergi ke biro psokologi kampus untuk konsultasi awal. Cerita singkat dari teman saya, adiknya mau mengobati trauma yang membayanginya selama ini.

Mereka mau mengaku pergi ke psikolog, bikin saya senang. Yang terpenting, saya jadi punya empati yang jauh lebih baik. Tidak ada lagi kata-kata “Kamu gila ya ke psikolog”. Saya jadi tau, beban masalah tiap orang beda-beda, saya tidak boleh mengeneralisir apalagi ngejudge. Saya tidak tau apa yang sebenarnya dia sudah lakukan untuk membuat harinya lebih baik.

Sekarang, saya lebih baik dalam mengontrol dan mengatur emosi/perasaan. Sedih dan senang secukupnya. Karena semuanya cuma sementara. Everything is temporary. Every thing.

Pelajaran lain dan yang saya sedang terapkan juga, deep listening. Sebisa mungkin mendengarkan ketika ada orang yang mau bercerita permasalahan hidupnya sama saya, artinya dia percaya sama saya. Masuk ke dalam ceritanya, merasakan apa yang dia rasakan.

  • Mendengar, kalau dia hanya ingin didengar.
  • Berpendapat, kalau dia minta pendapat.
  • Tidak membandingkan masalah dia dengan masalah saya.

Saya selalu senang kalau ada teman yang bertanya tentang psikolog, memberi informasi dalam kebingungan mereka. Dari apa aja yang bakal ditanya sama psikolog, psikolog mana, sampai harga konsultasinya. Saya sering membujuk teman untuk pergi ke psikolog/psikiater kalau kiranya mereka punya luka batin yang mengganggu.

Saya jadi aware sama kesehatan mental. Beda sama sakit fisik yang bisa terlihat, mental yang luka ini biasanya tidak terlihat dan malah tidak terobati. Banyak baca buku dan podcast tentang kesehatan mental, membagikan ke teman-teman yang kiranya juga butuh.

Sesekali saya juga mulai berani bercerita kalau pikiran saya sedang penuh dan perasaan saya sangat sedih, baik ke sahabat terdekat atau menulis jurnal. Intinya, saya ungkapkan. Karena kalau terus dipendam, bisa jadi saya balik ke masa buruk itu.

Terakhir, kalau dirasa sedang tidak baik-baik saja, produktivitasmu terganggu, malas bersosialisasi, punya pikiran atau bahkan sudah melakukan tindakan menyakiti diri/bunuh diri, please minta pertolongan. Please, seek profesional help! Percayalah, hidup kamu bermakna. Percayalah, kamu dan hari-harimu bisa berubah jadi lebih baik. Better days are coming. Psikolog memfasilitasi kita untuk mengekspresikan emosi jadi kita bisa berpikir lebih luas dan logis. Psikolog memberikan kita kepercayaan dan kesempatan untuk bisa menyelesaikan masalah kita sendiri setelah kita bisa berpikir lebih luas.

Psikologku bilang: kebahagiaan, energi dan semangat ada di diri sendiri. Proses yang mau kita jalankan sepenuhnya pilihan kita, bukan keputusan yang psikolog buat. Kita sendiri yang akan berjuang dan menolong diri sendiri.

Terima kasih semua support systemku. I’m survived!

Semoga tulisan ini bisa membantu kalian. Terima kasih sudah mau berusaha membuat hari-hari menjadi lebih baik! It okay to be not okay and you’re not alone!

Virtual Tour ke Arborek, Raja Ampat

Halo! Udah lama gak nulis blog, mari kita bersihin sarang laba-laba di blog ini. Kali ini saya mau cerita tentang virtual tour ke Arborek awal Juni kemarin. Masih dalam kondisi pandemik Covid-19, jadi jalan-jalan kali ini virtual dulu bareng TelusuRI dan Kak Githa dari Arborek Dive Shop.

View Pantai di Arborek

Pulau Arborek ini masih bagian dari kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Dari Jakarta atau kota-kota besar lain kita bisa ambil penerbangan menuju Bandara Domine Eduard Osok Sorong (SOQ), ada penerbangan langsung dan ada juga yang transit dulu di Makassar (UPG). Setelah landing di Sorong, lanjut naik bis/taxi ke pelabuhan Sorong terus naik kapal Bahari Express ke Waisai selama 2 jam. Dari Waisai ke Arborek butuh waktu 2 jam, tapi hanya bisa pakai kapal warga. Gak ada kendaraan umum. Jadi kalau mau ke Arborek, harus punya kenalan atau pakai jasa tour orang lokal.

Salah satu alasan saya ikut virtual tour ini sebenernya buat mengobati rindu sama lokasi KKN tahun 2014 lalu di Meosmanggara. Pernah saya ceritakan di sini. Karena masih berada dalam satu Kepulauan Raja Ampat, ekspektasi saya “Wah pasti dalam pulaunya mirip-mirip nih”. Dan bener dooong!

Dermaga Kampung Arborek

Walaupun sore itu sedikit gerimis tapi Kak Githa dengan kamera smartphonenya semangat mengajak kita, 43 peserta, keliling Arborek sore itu. Di mulai dari dermaga kayu sederhana dan tulisan plang/gapura “Selamat Datang di Kampung Arborek”.

Dari dermaga, kamera menuju ke semacam tempat kumpul para warga yang sore itu mama-mama lagi buat noken (kerajinan tas dari Papua). Semenjak Covid-19 tidak ada wisatawan yang berkunjung ke Arborek jadi perekonomian warga sana juga terdampak. Btw, kalau suatu hari kalian ke Papua dan tau harga noken mahal, itu karena dibuat sendiri dari tangan dan butuh waktu yang gak sebentar.

Arborek ini salah satu pulau tujuan para wisatawan kalau ke Raja Ampat, katanya underwaternya bagus banget! Underwater tournya pakai dokumentasi dari Kak Gemala dan Pineng yang udah sering banget berkunjung ke Arborek. Mereka bilang, di bawah dermaga kedalamannya sekitar 7 meter, kalau lagi surut cuma 5 meter. Lebih enak freedive daripada pake scuba. Di bawah dermaga aja banyak begini schooling fishnya! Kangen berenang ma ikan-ikan gak sih?

Underwater Arborek
Homestay di Arborek

Btw, gak semua pulau-pulau di Raja Ampat punya fasilitas penyewaan alat diving dan penginapan. Di Arborek ada homestay kalau kamu mau bermalam di sana. Homestaynya langsung menghadap laut. Satu bungalow isinya ada 2-3 kamar, tiap kamar bisa diisi 2 orang. Harganya 400.000/orang. Udah dapat makan 3x sehari. Belum termasuk paket diving/snorkeling/dll ya. Kalau sirih pinang, free!

Dari, diver termuda di Raja Ampat

Bocah ini namanya Dari. Dia diver termuda di Raja Ampat, Junior Open Water certified. Harusnya Juli ini dia Advance certification, tapi ditunda karena Covid-19. Dia dikasih pelatihan sertifikasi karena dia peduli sama laut dan harapannya dia bisa jadi role model anak-anak lain buat selalu cinta sama laut dan isinya.

Sunset di Arborek

Flashback waktu KKN 2014 di Meosmanggara, ternyata Arborek ini benar-benar mirip. Dari dermaga, jalanan kampung, lapangan bola, gedung sekolah, rumah warga, dll. Di Arborek hanya ada gedung sekolah PAUF dan SD dengan kondisi yang sangat sederhana, anak-anak harus ke pulau seberang kalau mau melanjutkan ke SMP dan SMA. Kondisi tempat cuci piring dan dapur di rumah warlok alias warga lokal juga mirip! Tempat cucian piring autentik di sebelah sumur dan di atas meja kayu besar. Hari ini si Mama mau masak ikaan~

Tempat Cuci Piring Warga Lokal Arborek
Suasana Jalan di Arborek

Kak Githa juga mengenalkan kita ke salah satu warga Italia yang dari Desember gak bisa pulang karena lockdown. Enak juga ya kejebak lockdown tapi tiap hari bisa liat pantai sama laut hahaha. Kabar gembira, di Arborek ada sinyal Tlkmsl. Ya begitu cerita dari Arborek sore ini, sederhana dan bahagia. Sea you, soon!

Pinggir Pantai Arborek
Menuju Sunset di Arborek

Terima kasih TelusuRI, Kak Githa, Kak Jovita dan Kak Gemala sudah mengajak jalan-jalan dan bercerita tanpa harus beli tiket PP CGK-SOQ hahaha.

Pantai Pulau Merah: Sunset dan Surfing Spot di Banyuwangi

Halo! Masih dalam cerita trip ke Banyuwangi minggu lalu. Banyuwangi emang crazy bangeet ya! Mau mendaki gunung ada, mau main di pantai juga ada. All in one. Setelah kemarin saya cerita tentang mandaki ke Ijen, sekarang waktunya kasih info tentang pantai Pulau Merah di Banyuwangi.

Pantai Pulau Merah

Kenapa namanya pantai Pulau Merah? Apa warna pasirnya merah kaya nama pantai Pink di Pulau Komodo? Ya mungkin hampir benar jawabannya. Kalau saya cek-cek di Mbah Google, dinamain pantai Pulau Merah karena di sini ada satu pulau atau lebih tepatnya bukit yang tanahnya berwarna merah. Tapi ini ga bisa dilihat dari jauh, karena ketutup pepohonan. Katanya, kalau pas air laut surut kita bisa ke bukit itu buat pembuktian haha. Kalau pas sunset, pasir di pantai ini berwarna merah kena sinar dari matahari yang mau tenggelam.

Bukit yang katanya bertanah merah

Kalau mau ke sini bisa naik mobil atau motor pribadi, atau sewa. Dari stasiun Banyuwangi Baru sekitar 2 jam lebih dikit bua sampai di pantai Pulau Merah. Itu kondisi kalau tidak musim liburan ya. Kalau musim liburan ya ada macet-macet dikit, orang-orang juga mau main ke pantai. Akses jalan menuju pantai berupa aspal, ada beberapa jalan berlubang. Kita bakal ketemu sama site penambangan emas di jalan dekat pantai. Nanti di kanan kiri juga bakal ngelewatin kebun Buah Naga milik warga (kemarin, Januari lagi musim Buah Naga). Yang unik, kebun Buah Naga warga ini dipasangi lampu bohlam di tiap sela-sela pohonnya, jadi kalau hari gelap kebunnya akan terang. Lampu ini merangsang pertumbuhan bunga dan buah Naga jadi petani bisa panen sepanjang tahun dan produksinya juga meningkat. Sejahteraa~ Aamiin~

Loket pantai Pulau Merah buka dari jam 07.00-17.00 sore. Ga bisa catching sunrise di sini. Tapi jangan khawatir, kita bisa nontonin sunset yang super bagus sampe puas. Jam tutup loketnya jam 17.00, tapi kalian boleh sampai malam di sini (kalau ga masuk angin). Harga tiket masuknya only Rp. 8.000,-. Btw kalau sewa mobil dari kota Banyuwangi ke pantai Pulau Merah (PP) sekitar Rp. 400.000,- termasuk driver dan bensin.

Bisa sewa alat surfing dan tempat duduk buat selonjoran

Menjelang sore, ya sekitar jam 16.00 sore biasanya pantai mulai ramai. Karena mungkin matahari sudah ga begitu terik. Bakal banyak orang-orang yang surfing, baik pemula ataupun profesional, orang lokal dan mancanegara. Pantai Pulau Merah ini salah satu pantai yang ombaknya bagus buat surfing. Pantainya tidak banyak batu, kalau angin kencang ombaknya bisa sampai lima meter! Tapi, kalau ombak sampai lima meter, biasanya pengunjung dilarang surfing atau mandi di pantai. Batas ombak yang boleh pas dua meter sajaaa, biar ga terjadi hal yang buruk-buruk gaes. Kalau ga punya papan surfing, bisa sewa yang harganya sekitar Rp. 50.000,-.

Sunset di Pulau Merah

Selain surfing sama renang-renang di pantai, kita bisa juga mancing pakai kapal nelayan. Syaratnya, kalau ombak lagi bersahabat ya. Tapi, kita harus bawa alat pancing sendiri soalnya ga ada sewaan. Oiya, di sini juga ada lapangan voli pantai. Sambil nunggu matahari tenggelam alias sunset bisa voli pantai dulu.

Kapal nelayan yang bisa di sewa di Pulau Merah

Kalau hari sudah gelap alias sudah puas nontonin apa motoin sunset, bisa melipir makan ke warung-warung di pinggir parkiran. Harganya masih terjangkau. Jangan khawatir, di sini juga ada mushola ya.

Lobster dan kolesterol

Sekian dulu ya cerita perpantaiannya. Semoga tulisanku bisa kasih info yang bermanfaat buat kalian. Buruan atur jadwal sama tabungan deh buat ke Banyuwangi. Banyak juga penginapan-penginapan like Bali di pinggir pantai Banyuwangi. Jangan lupa buang sampah di tempatnya ya. Sampai ketemu di cerita berikutnyaaa~

Cheers,

Tika

Perjalanan Menuju Kawah Ijen Banyuwangi

Notifikasi dari Papa: “Mbak, mau jalan-jalan ke Banyuwangi nggak? Ada tiket gratis berangkat Senin besok pulang Kamis”. Siapa yang tak mau gratisaan~ Beberapa teman dekat saya pasti tau kalau sudah dari lama saya ingin sekali solo traveling ke Banyuwangi, mau perjalanan buat kenal diri sendiri lebih dalam hehe. Tapi Tuhan baik bangeeet, dikabulinnya ke Banyuwangi sama orang tua.

View dari puncak gunung Ijen

Dari Jakarta ke Banyuwangi tidak ada kereta langsung, kita harus transit dulu untuk bisa sampai di Banyuwangi. Saya naik kereta tujuan Surabaya (12 jam) lalu transit di Surabaya (5 jam) dan lanjut kereta ke Banyuwangi (6 jam). Perjalanan hampir 24 jam. Bisa bayangkan gimana rasa bokong dan pinggang? Hahaha. Untuk tujuan Banyuwangi (dengan transit), banyak sekali pilihan kereta dari kelas ekonomi sampai luxury, dari yang berangkat pagi sampai yang berangkat malam. Ini saya coba buatkan info, untuk pilihan keretanya bisa cek di web/app tiket online ya.

Pilihan kereta ke Banyuwangi

Penginapan bisa pilih di Banyuwangi atau di daerah basecamp gunung Ijen. Harganya mulai dari Rp. 100.000,-. Trip kali ini, saya bermalam di rumah Tante dekat stasiun Kalisetail (saya tidak turun di stasiun Banyuwangi). Tiba di stasiun Kalisetail sekitar pukul 16.00 sore.

Biasanya orang-orang berangkat ke kawah Ijen pada dini hari untuk bisa melihat blue fire. Btw, blue fire ini hanya ada dua di dunia, di kawah Ijen dan di Iceland. Blue fire bisa disaksikan sekitar pukul 02.00 – 04.00 pagi. Dari rumah Tante (Kalisetail), kami dijemput jam 23.00 malam oleh travel. Jalanan menuju basecamp Ijen beraspal bagus, naik turun kanan kiri pepohonan, hanya bisa dilalui dua mobil arah berbeda.

Perjalanan dari Banyuwangi ke basecamp Ijen sekitar satu sampai dua jam, kami tiba jam 00.30 pagi. Loket karcis baru dibuka jam 01.00 pagi. Kami menunggu di salah satu warung di area parkir basecamp Ijen. Ngobrol bersama supir dan guide kami ditemani teh hangat. Suhu udara di Ijen ini mencapai belasan derajat, jadi jangan lupa bawa jaket tebal dan sarung tangan. Lebih baik lagi kalau pakai sepatu dan kaos kaki agar lebih hangat. Mendaki Ijen kali ini kami pakai guide, kalau tidak salah harganya Rp. 250.000,- sudah termasuk tiket masuk, air mineral 600 ml, senter/headlamp bagus dan masker untuk ke kawah belerang.

Jalur pendakian gunung Ijen. Ojek yang sedang mendorong penumpang in frame.

Kami mulai mendaki sekitar jam 01.00 pagi. Jarak dari gerbang pendakian sampai ke puncak sekitar 3 KM, kalau kata guide kami bisa ditempuh selama satu jam saja, tapi versi bule hahaha. Kalau saya yang kaum engap? Kemarin saya dua jam. Jalur pendakiannya berupa tanah berpasir yang kalau saat musim kemarau licin berpasir. Jalurnya lebar dengan kanan kiri hutan. Kalau lelah, bisa istirahat dulu di pos. Sepanjang perjalanan kalau tidak salah saya menemui ada tiga pos. Posnya besar dan bersih, ada tempat duduk semen jadi tidak perlu duduk di lantai.

Salah satu pos di jalur pendakian

Kabar gembira buat yang tidak suka capeknya naik gunung, di Ijen ini ada ojek (tapi tidak online haha). Ojeknya seperti gerobak/troli yang di dorong. Kita tinggal duduk selonjoran saja di atas troli. Biaya ojek dari gerbang pendakian sampai puncak dan kembali lagi ke gerbang pendakian (pergi-pulang) sebesar Rp. 800.000,- (ditarik tiga orang driver). Kalau mau turun dari puncak sampai gerbang pendakian (jalur turun) hanya Rp. 200.000,- (didorong satu orang driver). Di sepanjang perjalanan kita akan bertemu banyak ojek kosong yang akan menawari kita. Tertarik naik ojek ratusan ribu? Hehehe.

Ojek di gunung Ijen, start from 200K.

Para penambang belerang di Ijen sekarang juga sudah menggunakan troli ini untuk membawa bongkahan belerang dari puncak ke Pondok Bunder. Troli-troli ini hibah dari seorang warga negara Swiss, yang setiap tahun juga dimaintenance kondisinya masih layak atau tidak.

Setelah jalan menanjak 2 KM kita akan bertemu warung Pondok Bunder. Warung di ketinggian 2.214 mdpl ini menjual minuman hangat macam kopi dan teh, juga makanan ringan seperti pop mie. Di sini juga ada toilet untuk buang air kecil tapi dengan air terbatas. Warung Pondok Bunder ini jadi tempat para penambang belerang menimbang belerang yang mereka bawa dari kawah Ijen.

Kalau sudah cukup beristirahat di warung, perjalanan masih ada 1 KM menuju puncak Ijen. Dari warung perjalanan menanjak sebentar lalu lanjut landai terus sampai puncak. Udara dan angin sudah mulai terasa dingin. Para ojek yang tadi saya ceritakan hanya bisa sampai puncak saja. Jadi kalau kita mau lanjut untuk lihat blue fire, tidak bisa naik ojek.

Puncak Ijen: pangkalan ojek terakhir

Dari puncak Ijen, kita perlu turun lagi ke bawah sekitar 1 KM untuk sampai di spot blue fire. Jalurnya batuan curam dan terjal (alasan harus pakai sepatu ke Ijen). Blue fire bisa terlihat dari puncak walaupun tidak terlalu jelas. Kalau mau ambil foto blue fire tidak bisa dari puncak, harus turun ke bawah atau kalau mau bawa lensa tele. Blue fire bisa dilihat dari jam 02.00 – 03.00 pagi, saat langit masih gelap. Saya memilih untuk melihat blue fire dari kejauhan saja (puncak) karena sudah engap membayangkan track terjal curam saat naik dari kawah nanti. Sorry, anaknya lagi pesimis hahaha.

Setelah melihat blue fire, menuju sunrise atau sekitar jam 05.00 pagi kita bisa ke arah puncak. Dari arah kawah naik ke arah kiri, jalan terus aja sampai mentok. Puncak gunung ijen berada di ketinggian 2.348 mdpl. Guide saya baik sekali, dia kasih tau spot-spot foto bagus di puncak dan sepanjang jalan turun. Bahkan saat saya sudah lelah untuk foto, dia masih semangat buat arahin gaya.

Kawah gunung Ijen

Beberapa waktu lalu Ijen habis kebakaran, di puncak dan sepanjang jalurnya masih terlihat batang-batang pohon gundul yang masih hitam. Kata guide, pas kebakaran kemarin keadaan warung-warung di bawah kaya kena tsunami, banyak yang rusak kena abu-abu. Sampai saat ini kondisi di gunung Ijen masih dalam tahap pemulihan.

Pepohonan sisa kebakaran kemarin 😦

Jam 06.00 pagi kami turun karena takut ketinggalan kereta dari Stasiun Banyuwangi jam 09.00 pagi. Perjalanan turun dari puncak Ijen ke basecamp (warung) hanya satu jam saja. Bisa lari pas track landai. Pemandangan turun dari puncak bagus banget! Disuguhin Gunung Raung, Gunung Ranti dan Gunung Merapi (Jawa Timur).

Kita juga masih akan bertemu sama para ojek yang membawa penumpang turun dari puncak. Saya takut kalau dalam keadaan turunan terjal tiba-tiba gerobak/trolinya lepas atau drivernya tidak bisa mengerem, tapi ternyata rem tangan mereka pakem sekali dan mereka sudah terlatih. Jadi, tidak perlu khawatir. Khawatir di dompet aja kalau kamu mau keluar uang ratusan ribu hahaha.

Btw, harga tiket masuk untuk lokal hanya Rp. 5.000,- (weekdays) dan Rp. 7.500,- (hari libur). Turis mancanegara Rp. 100.000,- (weekdays) dan Rp. 150.000,- (weekend). Gunung Ijen tidak bisa untuk camping/bermalam, wisatawan hanya boleh berkunjung dari jam 01.00 pagi sampai jam 12.00 siang saja. Jadi kalau mau mendaki pagi hari jam 06.00 gitu, menghindari udara dingin, masih bisa. Kemarin pas perjalanan turun saya banyak bertemu pengunjung yang mendaki pagi hari setelah sunrise. Kata guide, kalau hari libur apalagi long weekend seperti natal dan tahun baru kemarin, wisatawan membludak dan sepanjang jalur pendakian sampai ke kawah macet orang. Oiya, kalau tidak pakai guide bisa sewa masker sama para penjual di basecamp atau puncak, harganya Rp. 35.000,- dengan kualitas bagus.

Sampai di basecamp (warung) bisa selonjoran lurusin kaki sambil menyeruput kopi atau teh hangat dan pisang goreng hangat seharga Rp. 1.000,- sambil ngobrol-ngobrol sama ibu warung. Pesan mie rebus juga bisa kalau perut lapar habis mengeluarkan banyak energi mendaki gunung.

Setelah istirahat sebentar, kami langsung berangkat ke stasiun Banyuwangi diantar bapak driver travel yang tadi malam menjemput kami. Perjalanan hanya 1 jam dari Ijen.

View dari puncak gunung Ijen

Semoga cerita ke gunung Ijen ini bisa kasih banyak info buat kalian ya. Jangan lupa bawa turun sampah dan buang di tempatnya. Dahulukan para penambang belerang yang lewat. Sampai jumpa di cerita berikutnya!

Cheers,

Tika

HIJAUKAN IBU KOTA BARENG IBU SUTRIYATI

Akhir-akhir ini berasa banget ga sih kalau cuaca Jakarta lagi super panas? Belum lagi kualitas udaranya juga buruk. Happy banget kalau lagi panas terik tiba-tiba nemu daerah yang asri banyak pepohonan, bikin adem. Rasanya seperti dapat banyak oksigen dan mood langsung membaik seketika.

Ngomong-ngomong soal daerah asri, ada satu lorong unik di daerah Kebayoran Selatan, Jakarta Selatan. Lorong Tanaman Obat Keluarga (LORGA) ditanami berbagai tanaman hotikultura dari tanaman obat, tanaman hias, sayuran hingga buah yang jumlahnya mencapai 160 tanaman.

Lorong Tanaman Obat Keluarga (LORGA)

Ibu Sutriyati atau biasa dipanggil Eyang Uti adalah penggagasnya. Suatu hari tetangganya ada yang sakit perut karena diare tapi persediaan obat sedang habis dan warung tutup. Eyang menyarankan untuk mengkonsumsi 3-5 lembar pucuk daun jambu biji, dikunyah sampai airnya tertelan. Tak lama setelah itu tetangganya memberi kabar kalau diarenya sudah sembuh.

Eyang Uti dan LORGA

Sejak itulah Eyang mencari tahu lebih banyak tentang tanaman obat. Eyang membaca banyak buku yang berisi jenis-jenis tanaman obat dan khasiatnya yang ternyata banyak ditemui di sekitarnya. Eyang membuat daftar semua tanaman, tapi hanya setengahnya yang masih ada sekarang karena sifat tanaman yang memang mati dan tumbuh lagi sesuai musim.

Sampai sekarang, Eyang jadi ketagihan mencari dan menanam tanaman obat. Kalau ada acara piknik, Eyang selalu request untuk pergi ke tempat yang banyak tanaman. Kalau ada teman yang sedang di luar kota, Eyang juga suka titip minta dibawakan biji atau benih tanaman. Seperti saat temannya ke Papua, Eyang minta dibawakan biji matoa untuk ditanam di area rumahnya yang sekarang sudah tumbuh rindang.

Merawat tanaman dengan mencabut daun-daun yang sudah menguning.

Saya diajak menyusuri LORGA sambil dijelaskan satu per satu tanaman yang kami jumpai. Ada rumput syahwat untuk viagra, gandarusa dan sirih untuk pegal linu, teh hijau untuk pelangsing tubuh, ekor kucing untuk obat luka, dewandaru untuk minuman kesehatan, zodia untuk pengusir nyamuk, leak untuk darah rendah, keladi tikus untuk kanker, anting-anting untuk jantung koroner, serta tanaman sayur dan buah seperti kaylan, terong, jeruk nipis, cabai, kacang panjang, seledri, bawang Dayak dan masih banyak lagi.

Ekor kucing untuk obat luka
Bawang Dayak untuk masuk angin

Siapa pun boleh menggunakan hasil tanaman yang ada di LORGA tapi dengan syarat harus ikut merawatnya. Selain menyirami tiap pagi atau sore, Eyang dan warga sekitar rumahnya juga memiliki program Kamis Bersih di mana setiap hari Kamis mereka membersihkan wilayahnya agar selalu bersih dan asri. Biasanya mereka menjual bibit tanaman di Car Free Day untuk mengajak masyarakat peduli lingkungan.

Halaman rumah Eyang Uti

Di usianya yang sudah 78 tahun, Eyang masih aktif di banyak kegiatan organisasi di kecamatan Kebayoran Lama diantaranya Kelompok Wanita Tani (KWT) di lingkup RW dan Kelompok Tani (POKTAN) di Sudin Ketahanan Pangan Kelautan dan Pertanian (KPKP) Jakarta selatan. Eyang juga sering menjadi pembicara dalam acara penghijauan lingkungan dan tanaman obat. Menurutnya, bersosialisasi di umur yang sudah tua ini sangat penting agar tidak mudah pikun.

Berkat kepedulian terhadap lingkungan yang sampai sekarang terasa manfaatnya, Eyang pernah meraih juara KALPATARU tingkat provinsi dan PROKLIM (Program Kampung Iklim) tingkat nasional.

Eyang Uti mencintai tanaman sejak 10 tahun lalu. Beliau tidak lelah memotivasi dan membantu warga untuk melakukan #AksiHidupBaik dengan menanam tanaman. Tidak ada alasan untuk tidak menanam tanaman walaupun di rumah tidak ada lahan tanam karena bisa ditanam dengan vertikultur. Dengan menanam tanaman dan merawatnya, berarti kita juga menyayangi ciptaan Tuhan.

Saya dan Eyang Uti

Saya bilang ke Eyang kalau sudah tua nanti juga mau punya kebun yang isinya banyak tanaman dan bisa panen sendiri, kemudian Eyang membalasnya “Kenapa harus tunggu tua dulu? Dari sekarang kan bisa menanam tanaman”.

Benar juga ya, dalam hati saya. Semoga cerita tentang Eyang Uti ini bisa menginspirasi kita untuk mengadirkan suasana lingkungan sekitar yang humanis dan harmonis dengan mulai menanam di halaman tempat tinggal. Jangan tunggu hari tua.

Ikuti cerita #AksiHidupBaik lainnya di akun Youtube dan Instagram Ibu Ibukota.

Pantai Teras Kaca di Gunung Kidul

Awalnya, saya sudah menyusun rencana kalau hari ini kami akan mengunjungi Pantai Sepanjang dan tetangga-tetangganya di Gunung Kidul. Tapi kemudian teman saya mengusulkan untuk mengganti tujuan ke Teras Kaca yang katanya sedang hits. Tujuan berpindah, syukurnya lokasi masih di daerah Gunung Kidul. Karena saya belum pernah ke sana, jadi perjalanan ini pakai bantuan google maps. Kami melewati jalur Jalan Imogiri jadi kami sempatkan untuk brunch dulu di Sate Klathak Mak Adi. Gurih banget Klathak siang itu! Happy tummy!

Sate Klathak Mak Adi

Perjalanan menuju Teras Kaca sekitar 1,5-2 jam dengan kondisi jalan yang sudah bagus beraspal. Jalannya naik turun seperti kalau mau ke pantai di Gunung Kidul pada umumnya.

Sebelum memasuki area pantai, ada pos masuk untuk membayar retribusi sebesar Rp. 5.000,- per orang. Area parkir cukup luas, bisa muat untuk bis juga. Mungkin karena tergolong baru, jadi masih banyak beberapa area yang masih dalam perbaikan.

Fasilitas di Teras Kaca sudah lengap, ada banyak toilet, musholla dan warung makan. Karena kami tidak makan di sana, jadi mohon maaf kami tidak tau harga makanannya berapa.

Area Pantai Teras Kaca

Oiya, biaya parkir mobil Rp. 10.000,-, mungkin kalau kendaraan roda dua Rp. 5.000,-. Dari area parkir kemudian jalan beberapa meter ada pos retribusi lagi untuk bayar tiket sebesar Rp. 5.000,-. Nah, di pos ini nanti kita ditanya mau foto di spot mana (ada gambar di spanduknya). Ada sekitar lima spot foto dengan harga variatif dari Rp. 10.000,- hingga Rp. 50.000,-. Spot fotonya ada teras kaca, ayunan seperti di Maribaya Bandung tapi ini dengan background laut, ada ujung kapal ala-ala Titanic, becak dengan hiasan lope-lope dan masih ada lagi yang saya lupa hehe.

Teras Kaca
Ala Kapal Titanic

Setelah memasuki area pantai ternyata semua spot foto itu hampir ada di setiap ujung tebing. By the way, Teras Kaca ini bukan pantai yang berpasir putih dan bisa langsung main air di bibir pantainya, ya. Teras Kaca ini lokasi wisata di atas tebing dengan landscape laut di ujungnya.

Landscape Teras Kaca
Spot natural yang “ngumpet”

Hampir tidak ada spot foto natural di Teras Kaca ini. Semuanya sudah terhias dengan spot-spot (yang katanya) instagram-able. Antrian di tiap spot pun juga ramai ketika kami datang pas weekdays kemarin. Kebayang kan kalo weekend antriannya akan seperti apa?

Teras Kaca sangat direkomendasikan buat teman-teman yang sangat senang mencari spot foto yang instagram-able. Namun, untuk teman-teman yang suka lokasi natural tanpa hiasan warna-warni silakan bisa cari pantai lain di Gunung Kidul. Tenang, masih banyak pantai di Gunung Kidul yang menarik, kok! Hehe.

Kami yang jengkel wkwk

Akhirnya, karena lumayan jengkel dengan spot-spot foto itu, kami bergegas pindah tujuan ke Watu Gupit buat sunsetan sambil makan mendoan hangat seharga Rp. 8000,- sajaa. Cerita tentang Watu Gupit pernah saya tulis di sini hehe.

Tips Sehat Mental di Era 4.0

“Selamat datang di era 4.0” sebuah greetings untuk kamu yang sedang membaca postingan saya kali ini hehe. Era 4.0 di mana teknologi dan internet sangat memudahkan kita dalam mendapatkan informasi dan berkomunikasi dengan orang banyak. Hampir setiap orang juga memiliki akun media sosial untuk berinteraksi dengan orang lain.

Adanya internet dan akun-akun positif tentang kesehatan mental membuat kita semakin aware dan mudah berempati pada kasus kesehatan mental. Selain itu, sekarang juga banyak layanan konsultasi dengan psikolog dan psikiater terpercaya melalui media dan aplikasi online tanpa harus perlu ke klinik atau rumah sakit. Banyaknya aplikasi chatting saat ini sangat memudahkan kita untuk berkomunikasi dengan teman-teman. Hal ini bisa sangat berguna ketika kita memiliki masalah dan butuh bercerita tinggal chat atau telepon mereka agar kita sedikit lebih lega daripada harus memendam sendirian. Kemudahan berkomunikasi ini bisa kita gunakan untuk mencari support saat kita merasa sedang tidak sehat, baik fisik maupun mental.

Media sosial di saat sekarang sering kali membuat kita jadi mudah stress dan rendah diri. Kita jadi mudah membandingkan pencapaian orang lain dengan diri sendiri, padahal setiap orang sudah punya timing sendiri untuk sukses. Kadang kita merasa iri ketika melihat postingan orang-orang liburan sedangkan kita masih harus berurusan dengan deadline. Dalam hal ini, kita harus mengontrol pikiran kita sendiri untuk sadar dan paham bahwa media sosial adalah tempat orang-orang memposting hal bahagia, jadi kita tidak perlu iri. Sekali pun ada hal sedih yang mereka bagikan, kita harus berempati tanpa menghakimi.

Think Before Share (sumber: behance.net)

Kemudahan mengakses segala informasi melalui internet ini ternyata juga punya dampak negatif. Apalagi ketika kita tidak mencari kebenaran sebuah berita atau artikel sebelum kita bagikan di media sosial. Penyebaran berita yang tidak sesuai (hoax) terutama di bidang kesehatan mental sangat berbahaya. Hoax bisa menyebabkan post traumatic stress syndrome (PTSD) bagi mereka yang memiliki trauma di masa lalu. Misalnya ada kabar hoax mengenai akan datang Tsunami di daerah pesisir, bagi mereka yang tinggal di daerah pesisir Aceh dan Donggala bisa jadi membuat cemas dan takut padahal berita tersebut tidak benar.

Kita juga bisa mudah untuk mendiagnosa sendiri penyakit yang kita derita, baik fisik maupun mental. Hanya dengan membaca sebuah postingan atau artikel di internet, kita bisa langsung berasumsi dan mendiagnosa diri sendiri padahal untuk diagnosa tersebut tidak mudah dan memerlukan kriteria-kriteria tertentu yang hanya bisa dilakukan oleh tenaga profesional seperti psikiater dan psikolog. Hal tersebut tentu saja berbahaya karena pasti akan mencari self-help atau self-treatment dari artikel-artikel di internet yang belum tentu tepat dengan keadaan yang sesungguhnya, kalau pertolongan itu salah malah akan memperparah keadaan. Sebaiknya, segera kunjungi tenaga profesional untuk mendapatkan diagnosa dan self-treatment yang tepat.

Don’t Self-Diagnose (sumber: ericamesirov.com)

Kita harus bijak dan berpikir kritis saat membaca informasi mengenai kesehatan mental di media sosial. Apakah informasi tersebut benar? Siapa yang menulis informasi tersebut? Bagaimana dengan referensi artikelnya? Jika informasinya sudah benar, penulisnya seorang profesional (psikolog atau psikiater) dan referensi artikelnya terpercaya maka kita boleh membagikannya.

Cara lain agar kita tetap sehat mental adalah dengan menggunakan media sosial secukupnya. Kita bisa meninggalkan sejenak media sosial dengan berinteraksi di kehidupan nyata, mencari kegiatan positif untuk mengelola emosi. Kita juga perlu mengontrol diri sendiri dengan mengatur feeds media sosial, kita bisa unfollow dan block hal-hal yang membuat kita tidak nyaman karena bahagia kita datangnya dari diri sendiri. Terima kasih sudah membaca 🙂

“Karya ini diikutsertakan dalam kompetisi Journalist Challenge by Ibunda.id, platform karya anak bangsa yang menyediakan layanan kesehatan mental berbasis teknologi”.

Sehat Mental Tanpa Cyberbullying

Sekarang kita hidup di zaman semua serba mudah. Kehadiran teknologi yang semakin canggih dan akses internet yang semakin cepat menjadi kita mudah untuk mendapatkan berbagai informasi dan berkomunikasi dengan orang lain tanpa perlu bertatap muka. Bahkan sekarang hampir semua kalangan umur bisa menggunakan smartphone dan memiliki akun media sosial.

Cyberbullying adalah salah satu masalah yang sering kita temui di media sosial. Cyberbullying bisa berdampak pada kesehatan mental karena biasanya berupa hate-speech, body shaming, pelecehan seksual, pengancaman, dll. Salah satu kasus yang belum lama terjadi adalah kematian seorang artis Korea bernama Sulli. Sulli ditemukan meninggal gantung diri di rumahnya.

Dari video di atas, kita bisa lihat bahwa Sulli mengalami cyberbullying. Komentar-komentar negatif dan gosip-gosip mengenai dirinya banyak ditemukan di internet. Hal tersebut pasti membuat dia sangat stress sampai bisa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Sulli tidak mau melaporkan para pelaku cyberbullying kepada pihak kepolisian karena karena para pelaku yang masih dibawah umur.

Para pelaku cyberbullying ini biasanya melakukan hal tersebut karena dendam, sakit hati, kecemburuan sosial dan ingin terlihat hebat. Mereka tidak bisa mengontrol emosi dirinya dan tidak memikirkan dampak buruk dari apa yang mereka posting. Padahal cyberbullying ini tidak ada manfaatnya sama sekali.

Cyberbullying bisa membuat korban menjadi pesimis dan mudah stress bahkan bisa melukai diri. Kalau kita menjadi korban cyberbullying sebaiknya kita ceritakan kepada orang terdekat dan melaporkan tindakan tersebut kepada pihak berwenang. Kita juga bisa memfilter feeds media sosial dengan unfollow, mute dan block akun-akun serta komentar jahat yang kita lihat. Selain itu, mencari support orang sekitar juga penting, karena lebih banyak orang yang menyayangi kita di dunia nyata dibandingkan mereka yang jahat di dunia maya.

Kita tidak bisa mengontrol perilaku orang lain terhadap kita, tetapi kita bisa mengontrol perilaku kita sendiri untuk orang lain. Salah satu kontrol perilaku yang bisa kita lakukan adalah berperilaku baik di media sosial. Kita bisa menahan emosi dan jempol untuk tidak memposting hal yang menjurus pada cyberbullying, berpikir ulang apakah yang kita bagikan di media sosial hanya untuk kepuasan pribadi atau kebermanfaatan banyak orang.

Semoga kita bisa selalu menjadi orang baik untuk diri sendiri dan orang lain, ya!

“Karya ini diikutsertakan dalam kompetisi Journalist Challenge by Ibunda.id, platform karya anak bangsa yang menyediakan layanan kesehatan mental berbasis teknologi”.