Ketika menulis ini, rasanya ingin berdoa “Saya tidak mau ada di masa-masa itu. Buruk banget”. Iya, masa di mana saya menjalani hari-hari ‘kosong’, saya bertemu dan nongkrong sama teman-teman haha-hihi tapi setelah pulang langsung merasa hampa lagi. Masa di mana tidur subuh karena overthink, bangun siang dan makan tidak teratur. Masa di mana produktivitas saya amat sangat buruk. Masa di mana punya pikiran “Enaknya nabrakin diri apa ngiket tali buat ngegantung, ya?” Hahaha. Tapi itu cuma di pikiran, saya sama sekali belum pernah melakukan percobaan bunuh diri.
Saya sadar kondisi ini sangat tidak nyaman dan saya tidak mau terus-terusan seperti ini. Saya merasa sedikit membaik setelah menulis jurnal, membuat gratitude list sebelum tidur, perbanyak ibadah, sholat malam, baca Al-qur’an. Sedikit. Setelah itu, hari-hari saya terganggu lagi.

Singkat cerita, saya beranikan diri bercerita ke teman saya yang seorang psikolog klinis. Saya dikasih semacam assessment yang harus diisi biar tau saya sebenernya kenapa. Kami berkomunikasi melalui email, karena harus saling kirim file assessment tadi.
Suatu sore, teman saya ini menawarkan saya untuk konsultasi tatap muka dengan psikolog yang kebetulan juga senior dia kuliah dulu. Dia kasih nomor seniornya yang ternyata pernah membeli journal jualan saya.
Ketemu Psikolog, Ngapain Aja?
Saya dapat psikolog yang click. Nada bicaranya lembut. Dua kali konseling, di awal sesi dia selalu bertanya “Hai, Tika. Apa kabar hari ini? Ada cerita apa hari ini?”, sambil tersenyum lebar memiringkan kepala dengan tangan melipat di atas meja. Nada bertanyanya persis guru TK yang sedang bertanya ke anak kecil haha. Bisa bayangkan, kan? Tapi itu tidak jadi masalah buat saya.
Tanpa basa-basi saya bercerita banyak ke dia. Dari yang awalnya bercerita lancar sampai terbata-bata sesekali dia menawarkan tissue di mejanya untuk saya ambil. Dia benar-benar memperhatikan cerita saya, eye-contact seolah dia juga merasakan apa yang saya alami. Sesekali dia mencatat singkat dalam buku catatannya, yang ternyata produksi saya.
“Kok kamu gak malu cerita masalahmu sama orang lain?”, beberapa teman bertanya seperti itu. Saya sama sekali tidak malu, karena benar-benar saya mau ‘sembuh’ dan keluar dari ‘ketidaknyamanan’ ini. Asli deh, tiap hari merasa kosong, nangis dan dada berdebar tanpa alasan yang jelas itu tidak enak!
Setelah bercerita, dia akan memberikan pandangannya. Pandangan yang tujuannya mendorong saya untuk menyelesaikan masalah saya sendiri. Pandangan yang meyakinkan saya kalau saya mampu dan saya tidak perlu takut akan hari esok. Dia meluruskan apa yang kiranya salah dalam pikiran dan tindakan saya.
Di akhir sesi, saya diajak bermeditasi. Diajak untuk mindful dan sadar pada diri saya saat itu. Menutup mata, merelaksasikan nafas dan pikiran, sambil mengikuti arahan dia. Salah satu yang saya ingat, saya disuruh membayangkan keinginan yang saya takutkan tidak terjadi tetapi benar-benar terjadi. Tangis saya pecah. Meditasi sekitar 10 menit selesai, setelah itu kami ngobrol ringan. Biasanya saya bercerita hari itu agenda saya apa dan besok mau ngapain, sambil menunggu dia melengkapi catatan dan membuat nota yang setelah itu saya kasih ke kasir untuk pembayaran.
Obrolan kami tidak hanya di dalam ruang konsul. Setiap pagi dan sore, dia menanyakan kabar dan apa yang sudah saya lakukan hari itu. Pesan semangat dan hangat selalu saya dapatkan tiap hari.
“Semoga hari esok akan baik-baik saja.”
“Every little steps is a progress.”
“Dicoba aja dulu, kita gak tau akan gimana sebelum dicoba”
“Kamu boleh sedih, boleh kecewa, boleh takut, dan kamu akan tetap bergerak”
Saya sudah tidak lagi berkunjung ke ruang konsultasinya. Sekarang, pelan-pelan, hari-hari saya sudah jauuuuh lebih baik! Sekarang, saya bisa menerima emosi dan perasaan yang sedang saya rasakan, meluapkannya dalam bentuk yang lebih positif. Saya bisa menemukan cara healing saya sendiri. Sesekali, kalau sedang butuh, saya menghubunginya dalam pesan WhatsApp atau Instagram.
Berapa Biayanya?
Psikolog saya praktek di salah satu RSUD di Yogyakarta, biaya yang saya keluarkan tidak pernah lebih dari 100.000 untuk sekali sesi, sekitar dua jam. Circa 2018-2019.
Kita bisa menemui psikolog di puskesmas, rumah sakit dan biro psikologi. Biaya tidak bisa disamakan. Kabar baiknya, bisa pakai BPJS untuk tingkat faskes puskesmas atau langsung ke RS yang menerima BPJS. Kita bisa cari kontak puskesmas/RS/biro psikologi di Google atau media sosial, kemudian kita hubungi untuk menanyakan harga konsultasi psikolog.
Empati, Deep Listening dan Awareness.
Saya ingat beberapa tahun lalu saat teman saya berencana ke psikolog, saya langsung nyeletuk “Ngapain kamu ke psikolog? Kamu gila, ya?”. Rasanya saya mau menampar mulut saya waktu itu. Jahat sekali. Sejak saya ke psikolog, saya dan teman saya itu jadi bercerita banyak tentang pengalaman kami ke psikolog, terapi apa yang dia dapatkan dan insight lain yang membuat saya semakin open-minded.
Di hari lain, ketika teman dekat saya di SMA berkunjung ke Jogja. Malam itu sudah hampir jam 12, saya yang sedang was-was karena gerbang kosan pasti sudah di kunci, malah membuka cerita “Beberapa bulan lalu gue ke psikolog, gue blablabla…”. Yang membuat saya kaget, respon teman saya “Gue juga ke psikolog!”. Raut muka kami malah saling excited buat cerita. Kami jadi bercerita singkat tentang masalah kami, sudah menyakiti diri separah apa, sudah sebaik apa sekarang, sampai membandingkan harga psikolog di Jakarta dan Jogja.
Malam yang lain, teman yang lain juga. Di kedai kopi kecil, dekat Prawirotaman, teman saya dari Jakarta tiba-tiba bertanya “Kak, lu pernah ke psikolog ya?”, saya mengangguk. Dia melanjutkan ceritanya “Gue juga, Kak. Di RS blabla, tapi psikolognya gak enak. Gue dibilang suruh banyak ibadah, kurang bersyukur. Mana mahal, hampir sejuta. Gue gak mau ke situ lagi”. Setelah itu kami bertiga, jadi bercerita banyak hal.
Besoknya, adiknya teman saya ini pergi ke biro psokologi kampus untuk konsultasi awal. Cerita singkat dari teman saya, adiknya mau mengobati trauma yang membayanginya selama ini.
Mereka mau mengaku pergi ke psikolog, bikin saya senang. Yang terpenting, saya jadi punya empati yang jauh lebih baik. Tidak ada lagi kata-kata “Kamu gila ya ke psikolog”. Saya jadi tau, beban masalah tiap orang beda-beda, saya tidak boleh mengeneralisir apalagi ngejudge. Saya tidak tau apa yang sebenarnya dia sudah lakukan untuk membuat harinya lebih baik.
Sekarang, saya lebih baik dalam mengontrol dan mengatur emosi/perasaan. Sedih dan senang secukupnya. Karena semuanya cuma sementara. Everything is temporary. Every thing.
Pelajaran lain dan yang saya sedang terapkan juga, deep listening. Sebisa mungkin mendengarkan ketika ada orang yang mau bercerita permasalahan hidupnya sama saya, artinya dia percaya sama saya. Masuk ke dalam ceritanya, merasakan apa yang dia rasakan.
- Mendengar, kalau dia hanya ingin didengar.
- Berpendapat, kalau dia minta pendapat.
- Tidak membandingkan masalah dia dengan masalah saya.
Saya selalu senang kalau ada teman yang bertanya tentang psikolog, memberi informasi dalam kebingungan mereka. Dari apa aja yang bakal ditanya sama psikolog, psikolog mana, sampai harga konsultasinya. Saya sering membujuk teman untuk pergi ke psikolog/psikiater kalau kiranya mereka punya luka batin yang mengganggu.
Saya jadi aware sama kesehatan mental. Beda sama sakit fisik yang bisa terlihat, mental yang luka ini biasanya tidak terlihat dan malah tidak terobati. Banyak baca buku dan podcast tentang kesehatan mental, membagikan ke teman-teman yang kiranya juga butuh.
Sesekali saya juga mulai berani bercerita kalau pikiran saya sedang penuh dan perasaan saya sangat sedih, baik ke sahabat terdekat atau menulis jurnal. Intinya, saya ungkapkan. Karena kalau terus dipendam, bisa jadi saya balik ke masa buruk itu.
Terakhir, kalau dirasa sedang tidak baik-baik saja, produktivitasmu terganggu, malas bersosialisasi, punya pikiran atau bahkan sudah melakukan tindakan menyakiti diri/bunuh diri, please minta pertolongan. Please, seek profesional help! Percayalah, hidup kamu bermakna. Percayalah, kamu dan hari-harimu bisa berubah jadi lebih baik. Better days are coming. Psikolog memfasilitasi kita untuk mengekspresikan emosi jadi kita bisa berpikir lebih luas dan logis. Psikolog memberikan kita kepercayaan dan kesempatan untuk bisa menyelesaikan masalah kita sendiri setelah kita bisa berpikir lebih luas.
Psikologku bilang: kebahagiaan, energi dan semangat ada di diri sendiri. Proses yang mau kita jalankan sepenuhnya pilihan kita, bukan keputusan yang psikolog buat. Kita sendiri yang akan berjuang dan menolong diri sendiri.
Terima kasih semua support systemku. I’m survived!
Semoga tulisan ini bisa membantu kalian. Terima kasih sudah mau berusaha membuat hari-hari menjadi lebih baik! It okay to be not okay and you’re not alone!